Tuesday, September 6, 2016

Gasifikasi Sampah Hutan Sebagai Solusi Penyediaan Listrik di Daerah Terpencil



Energi telah menjadi kebutuhan primer manusia terutama di zaman modern ini. Mulai dari aktivitas sehari-hari seperti mandi, bepergian, menyalakan barang elektronik, hingga memasak semuanya membutuhkan energi. Bentuk energi yang digunakan manusia dari massa ke-massa selalu berubah. Dahulu orang langsung menggunakan kayu bakar atau bahan lain yang mudah didapat dan bisa langsung dibakar. Kemudian ditemukan bahan bakar lain seperti batubara, minyak bumi, dan gas bumi. Ketiga sumber energi tidak terbarukan ini sekarang menjadi sumber pasokan energi utama di dunia. Namun, karena tidak dapat diperbaharui jumlah cadangannya semakin berkurang di alam. Di Indonesia sendiri, selama tahun 2009 – 2013 produksi minyak mentah dan kondensat menunjukkan kecenderungan menurun dengan tingkat penurunan rata-rata sebesar 3,43 persen per tahun. Begitu juga dengan produksi gas bumi yang mengalami penurunan dari tahun 2010 – 2013 (BPS, 2014).

Dewasa ini, manusia sudah mulai menyadari bahwa ketergantungan terhadap sumber energi tak terbarukan akan membawa dunia menuju krisis energi. Pemerintah Indonesia sendiri telah menyadari hal ini dan menindaklanjutinya dengan menerbitkan Perpres No. 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional dimana energi (primer) mix pada tahun 2025 akan meningkatkan porsi sumber energi terbarukan seperti bahan bakar nabati (biofuel) yang sekarang hanya sekitar 1% menjadi 5% dari total energi mix di 2025 nanti.

Bentuk energi yang bisa langsung digunakan (final energy) selain bahan bakar minyak (BBM) dan gas adalah listrik. Sumber pembangkit listrik bisa bermacam-macam mulai dari BBM, gas alam, angin, air, dan masih banyak lagi. Namun, pembangkit listrik yang ada di Indonesia sendiri sebagian besar masih berbasis bahan bakar fosil (minyak, gas, dan batubara) yang tidak terbarukan. Padahal masih banyak sumber energi terbarukan yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Misalnya panas bumi, air, mikrohidro, surya, angin, uranium, dan biomassa.

Kapasitas total pembangkit listrik nasional adalah sebesar 44,8 GW dan sekitar 73% diantaranya berada di wilayah Jawa Bali, 18% di wilayah Sumatera, sisanya di wilayah Kalimantan dan Pulau Lain (BPPT, 2014). Terlihat bahwa pembangunan di luar pulau Jawa-Bali terutama di bidang penyediaan listrik. Masih banyak wilayah di daerah terpencil di luar pulu Jawa-Bali yang belum terpenuhi kebutuhan listriknya. Padahal sumber tenaga listrik tersedia banyak di daerah terpencil tersebut, terutama dari sumber terbarukan.

Meskipun sumber energi terbarukan sangat melimpah di alam, namun pemanfaatannya masih sangat terbatas. Salah satu faktor yang menyebabkan terhambatnya pengembangan sumber energi terbarukan adalah capital cost yang cukup besar. Sehingga, para investor sekarang ini masih lebih tertarik untuk menginvestasikan uangnya untuk membangun pembangkin listrik tenaga bahan bakar fosil terutama di beberapa bulan terakhir ini dimana harga minyak dunia sedang turun di level USD 40-50 per barrel (oil-price.net, 2015). Namun, dengan pengembangan teknologi yang baik seharusnya harga listrik dari sumber energi terbarukan seperti biomassa per-kWh bisa lebih murah dibanding sumber yang lain. Sebagai contoh di India, harga listrik per-kWh untuk biomassa hanya USD 0,07, lebih murah dibandingkan dari diesel USD 0,27 dan hanya sedikit di atas batubara USD 0,05 (Raman dan Nambirajan, 2010). Jelas bahwa sumber dari biomassa cukup kompetitif dibandingkan listrik dari sumber yang lain. 

Pemilihan biomassa yang digunakan juga harus memperhatikan faktor lain seperti kegunaan biomassa di bidang ketahanan pangan. Seperti yang kita ketahui saat ini, banyak sumber energi terbarukan yang berasal dari tanaman pangan seperti jagung, singkong, sawit, dan lain lain. Pemanfaatan bahan pangan tersebut sebagai sumber energi tidak boleh mengganggu stabilitas kebutuhan bahan pangan. Sehingga perlu dicari bahan lain yang jika dikonversi secara besar-besaran menjadi energi tidak akan mengganggun stabilitas pangan. Salah satu potensi yang belum begitu termanfaatkan sampai saat ini adalah sumber biomasa yang berasal dari sampah hutan.

Sampah hutan disini diartikan sebagai sisa-sisa tumbuhan yang sudah mati dan tidak termanfaatkan seperti daun kering, batang kering, dan sisa organisme lain. Selain itu, sisa-sisa perkebunan seperti pohon karet, sisa pohon sagu, dan pohon lain yang sudah mati juga bisa didefinisikan sebagai sampah hutan. Sampah ini biasanya hanya dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan untuk bahan bangunan dan kayu bakar. Untuk kayu bakar sendiri, kayu dan sampah hutan lain dimanfaatkan secara langsung dengan pembakaran langsung (direct combustion) untuk menghasilkan energi yang biasanya berupa panas. Panas yang dihasilkan dari proses pembakaran hanya bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari seperti memasak atau kebutuhan minor lainnya. Energi panas yang dihasilkan dari pembakaran memang sangat terbatas penggunaannya. Selain itu efisiensi dari proses pembakaran langsung biasanya sangat kecil, hanya berkisar Antara 15-20% dari total panas yang dihasilkan. Maka dari itu, dibutuhkan proses lebih lanjut untuk meningkatkan efisiensi proses serta meningkatkan daya guna energi yang dihasilkan. Salah satu proses untuk meningkatkan efisiensi dan meningkatkan daya guna energi yang dihasilkan adalah gasifikasi.

Proses gasifikasi telah dikenal sejak abad lalu untuk mengolah betubara, gambut, atau kayu menjadi bahan bakar gas yang mudah dimanfaatkan (Herri, 1985). Tujuan dari proses gasifikasi adalah untuk meningkatkan kualitas energi dari bahan dasar gasifikasi. Selain itu, hasil dari proses gasifikasi yaitu synthetic gas, campuran gas CO dan H2, bisa dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan seperti bahan bakar dan listrik. Untuk daerah terpencil sekalipun, pemenuhan bahan bakar kebanyakan masih bisa dipenuhi dengan hanya membakar kayu dari hutan. Sehingga, yang menjadi permasalahan sekarang adalah pemenuhan kebutuhan listrik di daerah terpencil.

 
Sumber : http://www.chamco.net/Gasification_files/image010.jpg
Gambar 1 Reaktor Gasifikasi

Proses gasifikasi diawali dengan memasukkan sampah biomassa ke dalam reaktor gasifikasi (gasifier). Saat biomassa mengalami tahap pengeringan dengan temperatur sekitar 100 – 250oC. Pada temperatur ini air yang terkandung dalam biomassa akan berubah menjadi uap. Uap ini akan keluar ke aliran gas keluar bersama gas hasil gasifikasi. Tahap selanjutnya dalam reaktor adalah pirolisis. Proses ini terjadi pada temperatur 250 – 500oC. Pada temperatur ini biomassa mulai mengalami pemecahan molekul besar menjadi molekul-molekul lebih kecil akibat pengaruh temperatur tinggi. Hasil dari tahap pirolisis adalah arang, uap air, uap tar, dan gas-gas lain. Tahap selanjutnya adalah tahap reduksi yang berlangsung pada temperatur 600oC. Arang berekasi dengan uap air dan karbon dioksida menghasilakn hidrogen dan karbon monoksida. Dua gas hasil reduksi inilah yang menjadi komponen utama gas hasil. Tahap yang terakhir dalam reaktor adalah oksidasi. Proses ini berlangsung pada temperatur yang tinggi, yaitu sekitar 1200oC. Temperatur yang tinggi ini disebabkan oleh pembakaran sisa biomassa yang menhasilkan kalor. Pada suhu tinggi ini, uap tar juga mengalami proses lebih lanjut menjadi molekul-molekul kecil yang akhirnya terbakar (Herri, 1985).

Keluaran dari reaktor gasifier ini adalah gas H2, CO, H2O, CO2, partikel kecil (ash), dan sedikit gas SO2. Sebelum dapat digunakan, gas ini harus dibersihkan terlebih dahulu melalu gas cleaning system untuk mendapatkan konsentrasi H2 dan CO yang tinggi. Proses yang ada di unit pembersih gas ini adalah pemisahan partikel kecil dari gas, desulfurisasi, dry gas cleaning, dan pemersihan dari gas minor lain. Setelah dibersihkan, gas H2 dan CO dialirkan ke dalam SOFC (solid oxide fuel cell). Di dalam sel elektrokimia ini, terjadi reaksi Antara H2 dan CO dengan O2 yang berasal dari udara. Hasil dari reaksi ini adalah CO2, H2O, dan arus listrik. Arus listrik inilah yang dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari.

 
Sumber : http://esptk.fti.itb.ac.id/herri/
Gambar 2 Unit Gasifikasi

Namun, harga dari SOFC sendiri tergolong cukup mahal. Untuk menghasilkan 1 KWh listrik, dibutuhkan biaya sekitar USD 800 (Treacy, 2013) atau sekitar 11 juta rupiah hanya untuk sel elektrokimia saja. Harga ini cukup mahal jika ingin diaplikasikan di daerah terpencil yang umumnya masyarakatnya kurang mampu. Maka dari itu, kita harus mencari pengganti lain yang dapat digunakan untuk mengkonversi gas H2 dan CO menjadi listrik. Salah satunya dalah motor diesel. Gas hasil gasifikasi yang sudah dimurnikan dapat langsung diumpankan ke dalam motor diesel dan putaran mesinnya dapat langsung dihubungkan dengan generator dan menghasilkan arus listrik. Akan tetapi, efisiensi pembakaran menggunakan motor diesel masih lebih besar dari pembakaran langsung biomassa. Walaupun efisiensi dari motor diesel lebih kecil daripada efisiensi SOFC, namun harga motor diesel jauh lebih terjangkau daripada SOFC.

Teknologi gasifikasi sebenarnya sudah ada di Indonesia sejak tahun 1980-an. Untuk menghasilkan listrik, kendala utama dari penggunaan sumber energi biomassa adalah transmisi listrik dari reaktor sampai ke konsumen. Kendala inilah yang seharusnya juga menjadi perhatian dari pemerintah. Salahs satunya adalah pembangunan instalasi listrik di daerah terpencil untuk mentransmisikan listrik dari reaktor gasifikasi ke rumah warga. Namun, jangan terlalu berlebihan dalam memanfaatkan sumber daya alam. Bukan hanya sumber daya energi tak terbarukan, tapi juga sumber daya energi terbarukan. Walaupun energi terbarukan dapat diperbaharui, namun energi ini juga membutuhkan waktu untuk memperbaharui dirinya. Jika kita mengambil terlalu cepat dalam jumlah yang banyak, sumber daya terbarukan pun lama-kelamaan akan habis pula.

Pemanfaatan sampah hutan menjadi energi listrik melalui proses gasifikasi ini merupakan salah satu solusi dari penyediaan listrik di daerah pedalamn terutama pemukiman yang berada di dekat hutan. Dengan tersedianya pasokan listrik di daerah yang jarang perhatian pemerintah tersebut, diharapkan dapat mempercepat pembangunan di sana. Hal ini karena listrik telah menjadi kebutuhan dasar bagi manusia di zaman modern ini. Selain itu, pemanfaatan sampah hutan dan biomassa lain juga akan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Sehingga secara langsung kita ikut mengurangi pemanasan global yang akhir-akhir ini semakin menajadi perhatian seluruh masyarakat dunia.

“Hutan bukan hanya sekedar paru-paru dunia, namun juga menjadi penggerak kehidupan manusia.”





Gheady Wheland Faiz Muhammad
13013065
Mahasiswa Teknik Kimia ITB

No comments:

Post a Comment