Tuesday, September 6, 2016

Potensi Besar untuk Ketahanan Energi Indonesia : Coal Bed Methane



Gas alam mulai dikenal oleh masyarakat Indonesia pada tahun 1960-an dimana produksi gas alam dari ladang gas alam PT Stanvac Indonesia di Pendopo, Sumatera Selatan dikirim melalui pipa gas ke pabrik pupuk Pusri IA, PT Pupuk Sriwidjaja di Palembang. Berawal dari harga minyak bumi yang semakin naik pada tahun 1970-an akibat perang arab, manusia mencari alternatif energi selain minyak bumi. Gas bumi menjadi solusi penyediaan energi selain minyak bumi pada saat itu karena harganya yang lebih murah dibanding dengan minyak bumi. Semenjak itu, ekplorasi dan eksploitasi terhadap gas bumi terus dilakukan.

Produksi gas bumi Indonesia saat ini mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri bahkan masih dapat menjual keluar negeri. Akan tetapi, pada tahun 2019 jika tidak dilakukan pencarian sumur baru maka Indonesia akan mengelami kekurangan gas bumi. Oleh karena itu diperlukan eksplorasi dan eksploitasi lebih lanjut untuk mencari sumur baru agar kebutuhan gas bumi Indonesia dapat terpenuhi. Selain itu, mencari sumber gas lain selain sumur gas konvensional juga dapat dilakukan. Salah satu sumber gas yang belum termanfaatkan di Indonesia saat ini adalah coal bed methane (CBM). CBM merupakan gas methane yang terperangkap pada susunan batubara di bawah permukaan tanah. Metana dapat terperangkap pada batubara karena adanya deposit air yang memberikan tekanan sehingga dapat menahan gas di dalam formasi batubara. Untuk mengeluarkan gas dari dalam formasi batuan, air yang ada di formasi batubara dipompa keluar terlebih dahulu. Dengan keluarnya air dari formasi batubara maka tekanan pada gas akan berkurang dan akhirnya gas akan keluar dari formasi batuan. Gas yang keluar dari formasi batuan akan dikeluarkan lewat sumur.

Sumber daya CBM di Indonesia cukup besar yaitu mencapai 456.7 TSCF (OEI, 2015). Jumlah tersebut hampir menyamai sumber daya gas bumi di Indonesia sebesar 487 TSCF (OEI,2015). Sumber daya CBM yang besar terletak di daerah Sumatra Selatan, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Besarnya sumber daya tersebut tidak dibarengi dengan pengembangan dan komersialisasi industri CBM. Salah satu faktor yang memperlambat pengembangan adalah ketidakjelasan dan rumitnya regulasi pertambangan khususnya eksplorasi CBM. Akhir-akhir ini, Indonesia menerapkan skema production sharing contract (PSC) untuk pengembangan CBM seperti skema yang digunakan pada sektor migas. Akan tetapi, mekanisme PSC  kurang sesuai untuk pengembangan sumber energi baru seperti CBM ini. Jika tetap menggunakan skema PSC maka semua resiko ditanggung oleh kontraktor. Pemerintah sendiri awalnya menargetkan produksi CBM 500 MMSCFD pada 2015. Akan tetapi, pada 2014 target diturunkan menjadi 8,9 MMSCFD. Walaupun sudah menurunkan target, tetap saja target tersebut tidak tercapai. Pada 2014 produksi CBM hanya berkisar pada 0,625 MMSCFD (Indonesia Investmen, 2015).

Skema yang digunakan seharusnya mendorong investor untuk mau melakukan pengembangan CBM. Misalnya seperti yang dilakukan pada eksplorasi geotermal sekarang ini. Pemerintah mendorong pertumbuhan energi berbasis geotermal dengan ikut menanggung kerugian dari biaya yang dikeluarkan saat pengeboran sumur ternyata tidak memberikan hasil. Sehingga mekanisme seperti ini harusnya juga diterapkan pada CBM. Selain itu, produksi CBM di awal produksi sangatlah kecil. Pada awal produksi, yang keluar dari sumur adalah air. Gas metana keluar setelah 1-3 tahun massa produksi bergantung pada pada karakteristik sumur. Sehingga pada tahun-tahun pertama perusahaan akan menanggung kerugian. Pemerintah dapat memberikan insentif pada tahun-tahun awal produksi CBM kepada kontraktor. Sehingga dapat meringankan biaya eksploitasi. Setelah sumur memproduksi gas metana, barulah pemerintah meminta pajak atau mekanisme non-pajak kepada kontraktor. Dengan kebijakan tersebut, diharapkan iklim investasi CBM di Indonesia menajadi semakin baik. Semakin baiknya iklim investasi maka semakin banyak pula investor yang mau menanamkan modalnya pada sektor CBM.

Selain itu, mahasiswa juga harus mengambil bagian dalam pengembangan CBM di Indonesia. Kita sebagai mahasiswa dapat ikut mengkaji mengenai keberadaan CBM dan manfaatnya bagi negara ini. Kajian mengenai kebijakan yang harus diambil pemerintah juga dapat dilakukan oleh mahasiswa. Semua hasil diskusi dan kajian tadi dapat disampaikan langsung kepada pemerintah melalui lembaga yang bersangkutan, seperti kementrian ESDM. Akan tetapi, diperlukan kolaborasi antar elemen mahasiswa secara luas agar kajian yang dilakukan bersifat komperhensif dan memiliki kekuatan untuk menyuarakan aspirasi kepada pemerintah. Pada akhirnya, kerjasama antar elemen mahasiswa dan pemerintah harus dijalin agar dapat menyelesaikan berbagai permasalahan energi, khususnya pada pengembangan CBM di Indonesia.






Gheady Wheland Faiz Muhammad
13013065
Mahasiswa Teknik Kimia ITB


No comments:

Post a Comment