Gas alam mulai dikenal oleh masyarakat Indonesia pada tahun 1960-an dimana produksi
gas alam dari ladang gas alam PT Stanvac Indonesia di Pendopo, Sumatera Selatan
dikirim melalui pipa gas ke pabrik pupuk Pusri IA, PT Pupuk Sriwidjaja di
Palembang. Berawal dari harga minyak bumi yang semakin naik pada tahun 1970-an akibat perang arab, manusia mencari alternatif energi selain minyak bumi. Gas bumi
menjadi solusi penyediaan energi selain minyak bumi pada saat itu karena
harganya yang lebih murah dibanding dengan minyak bumi. Semenjak itu, ekplorasi
dan eksploitasi terhadap gas bumi terus dilakukan.
Produksi gas bumi Indonesia saat ini mampu mencukupi kebutuhan dalam
negeri bahkan masih dapat menjual keluar negeri. Akan tetapi, pada tahun 2019 jika tidak dilakukan
pencarian sumur baru maka Indonesia akan mengelami kekurangan gas bumi. Oleh
karena itu diperlukan eksplorasi dan eksploitasi lebih lanjut untuk mencari
sumur baru agar kebutuhan gas bumi Indonesia dapat terpenuhi. Selain itu,
mencari sumber gas lain selain sumur gas konvensional juga dapat dilakukan.
Salah satu sumber gas yang belum termanfaatkan di Indonesia saat ini adalah coal bed methane (CBM). CBM merupakan
gas methane yang terperangkap pada susunan batubara di bawah permukaan tanah. Metana
dapat terperangkap pada batubara karena adanya deposit air yang memberikan
tekanan sehingga dapat menahan gas di dalam formasi batubara. Untuk
mengeluarkan gas dari dalam formasi batuan, air yang ada di formasi batubara
dipompa keluar terlebih dahulu. Dengan keluarnya air dari formasi batubara maka
tekanan pada gas akan berkurang dan akhirnya gas akan keluar dari formasi
batuan. Gas yang keluar dari formasi batuan akan dikeluarkan lewat sumur.
Sumber daya CBM di Indonesia cukup besar yaitu mencapai 456.7 TSCF (OEI, 2015). Jumlah tersebut hampir menyamai sumber daya gas
bumi di Indonesia sebesar 487 TSCF (OEI,2015).
Sumber daya CBM yang besar terletak di daerah Sumatra Selatan, Kalimantan
Selatan, dan Kalimantan Timur. Besarnya sumber daya tersebut tidak dibarengi
dengan pengembangan dan komersialisasi industri CBM. Salah satu faktor yang
memperlambat pengembangan adalah ketidakjelasan dan rumitnya regulasi pertambangan
khususnya eksplorasi CBM. Akhir-akhir ini, Indonesia menerapkan skema production sharing contract (PSC) untuk
pengembangan CBM seperti skema yang digunakan pada sektor migas. Akan tetapi,
mekanisme PSC kurang sesuai untuk
pengembangan sumber energi baru seperti CBM ini. Jika tetap menggunakan skema
PSC maka semua resiko ditanggung oleh kontraktor. Pemerintah sendiri awalnya
menargetkan produksi CBM 500 MMSCFD pada 2015. Akan tetapi, pada 2014 target
diturunkan menjadi 8,9 MMSCFD. Walaupun sudah menurunkan target, tetap saja
target tersebut tidak tercapai. Pada 2014 produksi CBM hanya berkisar pada
0,625 MMSCFD (Indonesia Investmen,
2015).
Skema yang digunakan seharusnya mendorong investor
untuk mau melakukan pengembangan CBM. Misalnya seperti yang dilakukan pada
eksplorasi geotermal sekarang ini. Pemerintah mendorong pertumbuhan energi
berbasis geotermal dengan ikut menanggung kerugian dari biaya yang dikeluarkan
saat pengeboran sumur ternyata tidak memberikan hasil. Sehingga mekanisme
seperti ini harusnya juga diterapkan pada CBM. Selain itu, produksi CBM di awal produksi sangatlah kecil. Pada awal produksi, yang keluar dari sumur adalah
air. Gas metana keluar setelah 1-3 tahun massa produksi bergantung pada pada
karakteristik sumur. Sehingga pada tahun-tahun pertama perusahaan akan menanggung kerugian.
Pemerintah dapat memberikan insentif pada tahun-tahun awal produksi CBM kepada
kontraktor. Sehingga dapat meringankan biaya eksploitasi. Setelah sumur
memproduksi gas metana, barulah pemerintah meminta pajak atau mekanisme
non-pajak kepada kontraktor. Dengan kebijakan tersebut, diharapkan iklim
investasi CBM di Indonesia menajadi semakin baik. Semakin baiknya iklim
investasi maka semakin banyak pula investor yang mau menanamkan modalnya pada
sektor CBM.
Selain itu, mahasiswa juga harus mengambil bagian
dalam pengembangan CBM di Indonesia. Kita sebagai mahasiswa dapat ikut mengkaji
mengenai keberadaan CBM dan manfaatnya bagi negara ini. Kajian mengenai
kebijakan yang harus diambil pemerintah juga dapat dilakukan oleh mahasiswa.
Semua hasil diskusi dan kajian tadi dapat disampaikan langsung kepada
pemerintah melalui lembaga yang bersangkutan, seperti kementrian ESDM. Akan
tetapi, diperlukan kolaborasi antar elemen mahasiswa secara luas agar kajian
yang dilakukan bersifat komperhensif dan memiliki kekuatan untuk menyuarakan
aspirasi kepada pemerintah. Pada akhirnya, kerjasama antar elemen mahasiswa dan
pemerintah harus dijalin agar dapat menyelesaikan berbagai permasalahan energi,
khususnya pada pengembangan CBM di Indonesia.
Gheady Wheland
Faiz Muhammad
13013065
Mahasiswa
Teknik Kimia ITB
No comments:
Post a Comment