Indonesia sebagai Negara yang berada di kawasan khatulistiwa
memiliki potensi biomassa yang sangat besar. Luas hutan di Indonesia
berdasarkan data BPS mencapai 124 juta hektar dan 58,14 % diantaranya adalah
hutan produksi. Produksi kayu di Indonesia pada tahun 2013 adalah 4,85 juta m3
(BPS 2014). Kayu yang diproduksi sebagian besar hanya dijadikan sebagai
bahan baku furniture atau langsung di ekspor ke luar negeri.
Zaman dahulu, sebagian besar penduduk Indonesia telah menggunakan
kayu untuk berbagai keperluan mulai dari bahan bangunan sampai bahan bakar.
Untuk penggunaan kayu sebagai bahan bakar, kebanyakan langsung membakar kayu
dan memanfaatkan panas yang dihasilkan. Akan tetapi, karena kayu tidak bisa
disimpan dalam jangka waktu yang lama maka kayu disimpan dalam bentuk arang.
Arang memiliki nilai kalor yang lebih tinggi dan daya tahan yang lebih lama
dibandingkan dengan kayu.
Gambar 1 Komponen utama penyusun kayu (sumber : umaine.edu)
Kayu terdiri dari tiga komponen utama, yaitu lignin, selulosa dan
hemiselulosa. Kandungan kimia dari kayu sangatlah beragam tergantung dari jenis
kayunya. Akan tetapi, secara umum kandungan kimia dari kayu adalah fix carbon, volatile matter, moisture,
dan abu. Fix carbon merupakan komponen yang paling sering digunakan dalam kayu
terutama untuk dijadikan arang. Arang yang dihasilkan dapat digunakan sebagai
bahan bakar, bahan baku farmasi, dan penjernih air. Untuk mendapatkan fix carbon, kayu dipanaskan pada temperatur
200-300 oC. Pada temperatur tersebut, kayu akan mengalami pirolisis
yaitu perengkahan molekul-molekul besar menjadi molekul-molekul yang lebih
kecil. Produk yang dihasilkan selain arang adalah wood gas dan volatile matter.
Proses tersebut disebut wood distillation.
Wood gas merupakan salah satu hasil dari proses wood distillation. Jenis kayu sangat memengaruhi jumlah dan
komposisi wood gas yang dihasilkan. Wood gas dapat digunakan sebagai gas
pembakaran apabila memiliki komposisi 17% metana, 2% hydrogen, 23% karbon
monoksida, 38% karbon dioksida, 2% oksigen, dan 18% nitrogen. Nilai kalor dari wood gas sekitar 1/3 dari nilai kalor
gas alam (FAO, 1983).
Volatile matter mengandung tar, asam asetat, metanol, aseton, dan asam yang lebih
kompleks dan zat lainnya (FAO, 1983). Komponen-komponen penyusun tar memiliki
banyak manfaat baik di bidang industrik kimia. Tar dapat digunakan sebagai
pelapis kayu agar tidak lapuk dan dimakan serangga kayu. Asam asetat merupakan
zat yang berfungsi sebagai pengatur keasamaan pada makanan dan sebagai bahan
baku industri polimer. Metanol merupakan bahan baku untuk industri formaldehid
dan dimetil eter. Kedua senyawa tersebut digunakan secara luas sebagai bahan
baku untuk industri kimia. Aseton digunakan secara luas sebagai pelarut pada
proses kimia dan cairan pembersih. Sayangnya, saat ini hampir semua kebutuhan
akan asam asetat, metanol, dan aseton disuplai dari industri proses berbahan
dasar minyak dan gas bumi. Tar sebagai pelapis kayu posisinya juga telah
digantikan oleh melamik, politur, nitro
cellulose, dan polyurethane yang
didapatkan dari sintesis kimia.
Sekarang ini, pengembangan teknologi biomassa terutama kayu
sangatlah lambat. Hal ini dikarenakan masyarakat dan Industri lebih memilih
minyak bumi dan gas alam sebagai bahan bakar dan bahan baku Industri. Selain
harganya yang lebih murah, sifat minyak bumi dan gas alam yang lebih mudah
dikendalikan. Akan tetapi ketersediaan gas alam dan minyak bumi akan menurun dan
harganya semakin melambung seiring berjalannya waktu sehingga diperlukan
alternative pengganti untuk industri berbahan baku gas dan minyak bumi. Jika
kita melihat potensi yang ada di Negara kita, biomassa merupakan jawaban dari
semua permasalahan tadi. Pengembangan biomassa sebagai sumber energi telah lama
dilakukan di Indonesia.
Gambar 2 Pohon industri dari bahan baku kayu (sumber : what-when-how.com)
Akan tetapi, pengembangan ke arah industri kimia hampir belum
tersentuh. Teknologi pemrosesan biomassa masih sebatas teknologi produksi
kertas dan karet. Pengembangan lain seperti kea rah industry bioenergi juga
baru mulai berkembang di Indonesia. Mengingat besarnya potensi yang dimiliki negara
kita serta keterbatasan ketersediaan minyak bumi dan gas, kita harus mulai
berpikir bagaimana memanfaatkan potensi tersebut ke arah yang lain. Sebagai
seorang mahasiswa, sudah sepantasnya kita yang ikut aktif memikirkan solusi
nyata untuk menghadapi kenyataan terebut. Selain penelitian, usaha untuk
mengkomersialkan industri wood chemical
juga harus dilakukan. Kebutuhan finansial yang besar pada proses produksi bahan
kimia dari kayu dapat ditutupi dengan penjualan arang sebagai salah satu hasil wood distillation. Selain itu, integrasi
antara perkebunan dengan pabrik wood
chemical juga harus dilakukan untuk memastikan ketersediaan bahan baku
secara terus menerus. Hal ini karena perkebunan di Indonesia baik itu
perkebunan sawit, karet, ataupun perkebunan lain letaknya tersebar di berbagai
daerah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, teknologi mobile industry mungkin bisa menjadi solusi. Unit yang harus mobile adalah unit pembersihan kayu,
pemotongan kayu, unit pengeringan, dan unit wood
distillation. Hasil dari wood
distillation berupa arang dapat langsung dipasarkan. Sedangkan produk
berupa volatile matter dan gas kayu
dibawa ke pabrik untuk diproses lebih lanjut menjadi bahan kimia yang
diinginkan.
Sudah saatnya kita semua menyadari kondisi yang terjadi sekarang ini
dan potensi yang kita miliki. Dengan mengembangkan dan memanfaatkan potensi
yang kita miliki diharapkan dapat menyelesaikan permasalah Indonesia saat ini.
Baik dari keilmuan teknik kimia, maupun dari keilmuan yang lain harus saling
bahu-membahu dalam membangun bangsa ini khususnya di bidang industry wood chemical. Jangan sampai kita
sekedar menyerap semua teknologi maju yang ada dari luar. Kita harus memiliki
teknologi tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan kita dan sesuai dengan
potensi yang kita miliki.
Gheady Wheland
Faiz Muhammad
13013065
Mahasiswa
Teknik Kimia ITB
No comments:
Post a Comment