Tuesday, September 6, 2016

Potensi Besar untuk Ketahanan Energi Indonesia : Coal Bed Methane



Gas alam mulai dikenal oleh masyarakat Indonesia pada tahun 1960-an dimana produksi gas alam dari ladang gas alam PT Stanvac Indonesia di Pendopo, Sumatera Selatan dikirim melalui pipa gas ke pabrik pupuk Pusri IA, PT Pupuk Sriwidjaja di Palembang. Berawal dari harga minyak bumi yang semakin naik pada tahun 1970-an akibat perang arab, manusia mencari alternatif energi selain minyak bumi. Gas bumi menjadi solusi penyediaan energi selain minyak bumi pada saat itu karena harganya yang lebih murah dibanding dengan minyak bumi. Semenjak itu, ekplorasi dan eksploitasi terhadap gas bumi terus dilakukan.

Produksi gas bumi Indonesia saat ini mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri bahkan masih dapat menjual keluar negeri. Akan tetapi, pada tahun 2019 jika tidak dilakukan pencarian sumur baru maka Indonesia akan mengelami kekurangan gas bumi. Oleh karena itu diperlukan eksplorasi dan eksploitasi lebih lanjut untuk mencari sumur baru agar kebutuhan gas bumi Indonesia dapat terpenuhi. Selain itu, mencari sumber gas lain selain sumur gas konvensional juga dapat dilakukan. Salah satu sumber gas yang belum termanfaatkan di Indonesia saat ini adalah coal bed methane (CBM). CBM merupakan gas methane yang terperangkap pada susunan batubara di bawah permukaan tanah. Metana dapat terperangkap pada batubara karena adanya deposit air yang memberikan tekanan sehingga dapat menahan gas di dalam formasi batubara. Untuk mengeluarkan gas dari dalam formasi batuan, air yang ada di formasi batubara dipompa keluar terlebih dahulu. Dengan keluarnya air dari formasi batubara maka tekanan pada gas akan berkurang dan akhirnya gas akan keluar dari formasi batuan. Gas yang keluar dari formasi batuan akan dikeluarkan lewat sumur.

Sumber daya CBM di Indonesia cukup besar yaitu mencapai 456.7 TSCF (OEI, 2015). Jumlah tersebut hampir menyamai sumber daya gas bumi di Indonesia sebesar 487 TSCF (OEI,2015). Sumber daya CBM yang besar terletak di daerah Sumatra Selatan, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Besarnya sumber daya tersebut tidak dibarengi dengan pengembangan dan komersialisasi industri CBM. Salah satu faktor yang memperlambat pengembangan adalah ketidakjelasan dan rumitnya regulasi pertambangan khususnya eksplorasi CBM. Akhir-akhir ini, Indonesia menerapkan skema production sharing contract (PSC) untuk pengembangan CBM seperti skema yang digunakan pada sektor migas. Akan tetapi, mekanisme PSC  kurang sesuai untuk pengembangan sumber energi baru seperti CBM ini. Jika tetap menggunakan skema PSC maka semua resiko ditanggung oleh kontraktor. Pemerintah sendiri awalnya menargetkan produksi CBM 500 MMSCFD pada 2015. Akan tetapi, pada 2014 target diturunkan menjadi 8,9 MMSCFD. Walaupun sudah menurunkan target, tetap saja target tersebut tidak tercapai. Pada 2014 produksi CBM hanya berkisar pada 0,625 MMSCFD (Indonesia Investmen, 2015).

Skema yang digunakan seharusnya mendorong investor untuk mau melakukan pengembangan CBM. Misalnya seperti yang dilakukan pada eksplorasi geotermal sekarang ini. Pemerintah mendorong pertumbuhan energi berbasis geotermal dengan ikut menanggung kerugian dari biaya yang dikeluarkan saat pengeboran sumur ternyata tidak memberikan hasil. Sehingga mekanisme seperti ini harusnya juga diterapkan pada CBM. Selain itu, produksi CBM di awal produksi sangatlah kecil. Pada awal produksi, yang keluar dari sumur adalah air. Gas metana keluar setelah 1-3 tahun massa produksi bergantung pada pada karakteristik sumur. Sehingga pada tahun-tahun pertama perusahaan akan menanggung kerugian. Pemerintah dapat memberikan insentif pada tahun-tahun awal produksi CBM kepada kontraktor. Sehingga dapat meringankan biaya eksploitasi. Setelah sumur memproduksi gas metana, barulah pemerintah meminta pajak atau mekanisme non-pajak kepada kontraktor. Dengan kebijakan tersebut, diharapkan iklim investasi CBM di Indonesia menajadi semakin baik. Semakin baiknya iklim investasi maka semakin banyak pula investor yang mau menanamkan modalnya pada sektor CBM.

Selain itu, mahasiswa juga harus mengambil bagian dalam pengembangan CBM di Indonesia. Kita sebagai mahasiswa dapat ikut mengkaji mengenai keberadaan CBM dan manfaatnya bagi negara ini. Kajian mengenai kebijakan yang harus diambil pemerintah juga dapat dilakukan oleh mahasiswa. Semua hasil diskusi dan kajian tadi dapat disampaikan langsung kepada pemerintah melalui lembaga yang bersangkutan, seperti kementrian ESDM. Akan tetapi, diperlukan kolaborasi antar elemen mahasiswa secara luas agar kajian yang dilakukan bersifat komperhensif dan memiliki kekuatan untuk menyuarakan aspirasi kepada pemerintah. Pada akhirnya, kerjasama antar elemen mahasiswa dan pemerintah harus dijalin agar dapat menyelesaikan berbagai permasalahan energi, khususnya pada pengembangan CBM di Indonesia.






Gheady Wheland Faiz Muhammad
13013065
Mahasiswa Teknik Kimia ITB


Wood Chemical Industry: Potensi Indonesia yang Terlupakan



Indonesia sebagai Negara yang berada di kawasan khatulistiwa memiliki potensi biomassa yang sangat besar. Luas hutan di Indonesia berdasarkan data BPS mencapai 124 juta hektar dan 58,14 % diantaranya adalah hutan produksi. Produksi kayu di Indonesia pada tahun 2013 adalah 4,85 juta m3 (BPS 2014). Kayu yang diproduksi sebagian besar hanya dijadikan sebagai bahan baku furniture atau langsung di ekspor ke luar negeri.

Zaman dahulu, sebagian besar penduduk Indonesia telah menggunakan kayu untuk berbagai keperluan mulai dari bahan bangunan sampai bahan bakar. Untuk penggunaan kayu sebagai bahan bakar, kebanyakan langsung membakar kayu dan memanfaatkan panas yang dihasilkan. Akan tetapi, karena kayu tidak bisa disimpan dalam jangka waktu yang lama maka kayu disimpan dalam bentuk arang. Arang memiliki nilai kalor yang lebih tinggi dan daya tahan yang lebih lama dibandingkan dengan kayu.

 
Gambar 1 Komponen utama penyusun kayu (sumber : umaine.edu)

Kayu terdiri dari tiga komponen utama, yaitu lignin, selulosa dan hemiselulosa. Kandungan kimia dari kayu sangatlah beragam tergantung dari jenis kayunya. Akan tetapi, secara umum kandungan kimia dari kayu adalah fix carbon, volatile matter, moisture, dan abu. Fix carbon merupakan komponen yang paling sering digunakan dalam kayu terutama untuk dijadikan arang. Arang yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan bakar, bahan baku farmasi, dan penjernih air. Untuk mendapatkan fix carbon, kayu dipanaskan pada temperatur 200-300 oC. Pada temperatur tersebut, kayu akan mengalami pirolisis yaitu perengkahan molekul-molekul besar menjadi molekul-molekul yang lebih kecil. Produk yang dihasilkan selain arang adalah wood gas dan volatile matter. Proses tersebut disebut wood distillation.

Wood gas merupakan salah satu hasil dari proses wood distillation. Jenis kayu sangat memengaruhi jumlah dan komposisi wood gas yang dihasilkan. Wood gas dapat digunakan sebagai gas pembakaran apabila memiliki komposisi 17% metana, 2% hydrogen, 23% karbon monoksida, 38% karbon dioksida, 2% oksigen, dan 18% nitrogen. Nilai kalor dari wood gas sekitar 1/3 dari nilai kalor gas alam (FAO, 1983).

Volatile matter mengandung tar, asam asetat, metanol, aseton, dan asam yang lebih kompleks dan zat lainnya (FAO, 1983). Komponen-komponen penyusun tar memiliki banyak manfaat baik di bidang industrik kimia. Tar dapat digunakan sebagai pelapis kayu agar tidak lapuk dan dimakan serangga kayu. Asam asetat merupakan zat yang berfungsi sebagai pengatur keasamaan pada makanan dan sebagai bahan baku industri polimer. Metanol merupakan bahan baku untuk industri formaldehid dan dimetil eter. Kedua senyawa tersebut digunakan secara luas sebagai bahan baku untuk industri kimia. Aseton digunakan secara luas sebagai pelarut pada proses kimia dan cairan pembersih. Sayangnya, saat ini hampir semua kebutuhan akan asam asetat, metanol, dan aseton disuplai dari industri proses berbahan dasar minyak dan gas bumi. Tar sebagai pelapis kayu posisinya juga telah digantikan oleh melamik, politur, nitro cellulose, dan polyurethane yang didapatkan dari sintesis kimia.

Sekarang ini, pengembangan teknologi biomassa terutama kayu sangatlah lambat. Hal ini dikarenakan masyarakat dan Industri lebih memilih minyak bumi dan gas alam sebagai bahan bakar dan bahan baku Industri. Selain harganya yang lebih murah, sifat minyak bumi dan gas alam yang lebih mudah dikendalikan. Akan tetapi ketersediaan gas alam dan minyak bumi akan menurun dan harganya semakin melambung seiring berjalannya waktu sehingga diperlukan alternative pengganti untuk industri berbahan baku gas dan minyak bumi. Jika kita melihat potensi yang ada di Negara kita, biomassa merupakan jawaban dari semua permasalahan tadi. Pengembangan biomassa sebagai sumber energi telah lama dilakukan di Indonesia.

 
Gambar 2 Pohon industri dari bahan baku kayu (sumber : what-when-how.com)

Akan tetapi, pengembangan ke arah industri kimia hampir belum tersentuh. Teknologi pemrosesan biomassa masih sebatas teknologi produksi kertas dan karet. Pengembangan lain seperti kea rah industry bioenergi juga baru mulai berkembang di Indonesia. Mengingat besarnya potensi yang dimiliki negara kita serta keterbatasan ketersediaan minyak bumi dan gas, kita harus mulai berpikir bagaimana memanfaatkan potensi tersebut ke arah yang lain. Sebagai seorang mahasiswa, sudah sepantasnya kita yang ikut aktif memikirkan solusi nyata untuk menghadapi kenyataan terebut. Selain penelitian, usaha untuk mengkomersialkan industri wood chemical juga harus dilakukan. Kebutuhan finansial yang besar pada proses produksi bahan kimia dari kayu dapat ditutupi dengan penjualan arang sebagai salah satu hasil wood distillation. Selain itu, integrasi antara perkebunan dengan pabrik wood chemical juga harus dilakukan untuk memastikan ketersediaan bahan baku secara terus menerus. Hal ini karena perkebunan di Indonesia baik itu perkebunan sawit, karet, ataupun perkebunan lain letaknya tersebar di berbagai daerah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, teknologi mobile industry mungkin bisa menjadi solusi. Unit yang harus mobile adalah unit pembersihan kayu, pemotongan kayu, unit pengeringan, dan unit wood distillation. Hasil dari wood distillation berupa arang dapat langsung dipasarkan. Sedangkan produk berupa volatile matter dan gas kayu dibawa ke pabrik untuk diproses lebih lanjut menjadi bahan kimia yang diinginkan.

Sudah saatnya kita semua menyadari kondisi yang terjadi sekarang ini dan potensi yang kita miliki. Dengan mengembangkan dan memanfaatkan potensi yang kita miliki diharapkan dapat menyelesaikan permasalah Indonesia saat ini. Baik dari keilmuan teknik kimia, maupun dari keilmuan yang lain harus saling bahu-membahu dalam membangun bangsa ini khususnya di bidang industry wood chemical. Jangan sampai kita sekedar menyerap semua teknologi maju yang ada dari luar. Kita harus memiliki teknologi tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan kita dan sesuai dengan potensi yang kita miliki.






Gheady Wheland Faiz Muhammad
13013065
Mahasiswa Teknik Kimia ITB


Gasifikasi Sampah Hutan Sebagai Solusi Penyediaan Listrik di Daerah Terpencil



Energi telah menjadi kebutuhan primer manusia terutama di zaman modern ini. Mulai dari aktivitas sehari-hari seperti mandi, bepergian, menyalakan barang elektronik, hingga memasak semuanya membutuhkan energi. Bentuk energi yang digunakan manusia dari massa ke-massa selalu berubah. Dahulu orang langsung menggunakan kayu bakar atau bahan lain yang mudah didapat dan bisa langsung dibakar. Kemudian ditemukan bahan bakar lain seperti batubara, minyak bumi, dan gas bumi. Ketiga sumber energi tidak terbarukan ini sekarang menjadi sumber pasokan energi utama di dunia. Namun, karena tidak dapat diperbaharui jumlah cadangannya semakin berkurang di alam. Di Indonesia sendiri, selama tahun 2009 – 2013 produksi minyak mentah dan kondensat menunjukkan kecenderungan menurun dengan tingkat penurunan rata-rata sebesar 3,43 persen per tahun. Begitu juga dengan produksi gas bumi yang mengalami penurunan dari tahun 2010 – 2013 (BPS, 2014).

Dewasa ini, manusia sudah mulai menyadari bahwa ketergantungan terhadap sumber energi tak terbarukan akan membawa dunia menuju krisis energi. Pemerintah Indonesia sendiri telah menyadari hal ini dan menindaklanjutinya dengan menerbitkan Perpres No. 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional dimana energi (primer) mix pada tahun 2025 akan meningkatkan porsi sumber energi terbarukan seperti bahan bakar nabati (biofuel) yang sekarang hanya sekitar 1% menjadi 5% dari total energi mix di 2025 nanti.

Bentuk energi yang bisa langsung digunakan (final energy) selain bahan bakar minyak (BBM) dan gas adalah listrik. Sumber pembangkit listrik bisa bermacam-macam mulai dari BBM, gas alam, angin, air, dan masih banyak lagi. Namun, pembangkit listrik yang ada di Indonesia sendiri sebagian besar masih berbasis bahan bakar fosil (minyak, gas, dan batubara) yang tidak terbarukan. Padahal masih banyak sumber energi terbarukan yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Misalnya panas bumi, air, mikrohidro, surya, angin, uranium, dan biomassa.

Kapasitas total pembangkit listrik nasional adalah sebesar 44,8 GW dan sekitar 73% diantaranya berada di wilayah Jawa Bali, 18% di wilayah Sumatera, sisanya di wilayah Kalimantan dan Pulau Lain (BPPT, 2014). Terlihat bahwa pembangunan di luar pulau Jawa-Bali terutama di bidang penyediaan listrik. Masih banyak wilayah di daerah terpencil di luar pulu Jawa-Bali yang belum terpenuhi kebutuhan listriknya. Padahal sumber tenaga listrik tersedia banyak di daerah terpencil tersebut, terutama dari sumber terbarukan.

Meskipun sumber energi terbarukan sangat melimpah di alam, namun pemanfaatannya masih sangat terbatas. Salah satu faktor yang menyebabkan terhambatnya pengembangan sumber energi terbarukan adalah capital cost yang cukup besar. Sehingga, para investor sekarang ini masih lebih tertarik untuk menginvestasikan uangnya untuk membangun pembangkin listrik tenaga bahan bakar fosil terutama di beberapa bulan terakhir ini dimana harga minyak dunia sedang turun di level USD 40-50 per barrel (oil-price.net, 2015). Namun, dengan pengembangan teknologi yang baik seharusnya harga listrik dari sumber energi terbarukan seperti biomassa per-kWh bisa lebih murah dibanding sumber yang lain. Sebagai contoh di India, harga listrik per-kWh untuk biomassa hanya USD 0,07, lebih murah dibandingkan dari diesel USD 0,27 dan hanya sedikit di atas batubara USD 0,05 (Raman dan Nambirajan, 2010). Jelas bahwa sumber dari biomassa cukup kompetitif dibandingkan listrik dari sumber yang lain. 

Pemilihan biomassa yang digunakan juga harus memperhatikan faktor lain seperti kegunaan biomassa di bidang ketahanan pangan. Seperti yang kita ketahui saat ini, banyak sumber energi terbarukan yang berasal dari tanaman pangan seperti jagung, singkong, sawit, dan lain lain. Pemanfaatan bahan pangan tersebut sebagai sumber energi tidak boleh mengganggu stabilitas kebutuhan bahan pangan. Sehingga perlu dicari bahan lain yang jika dikonversi secara besar-besaran menjadi energi tidak akan mengganggun stabilitas pangan. Salah satu potensi yang belum begitu termanfaatkan sampai saat ini adalah sumber biomasa yang berasal dari sampah hutan.

Sampah hutan disini diartikan sebagai sisa-sisa tumbuhan yang sudah mati dan tidak termanfaatkan seperti daun kering, batang kering, dan sisa organisme lain. Selain itu, sisa-sisa perkebunan seperti pohon karet, sisa pohon sagu, dan pohon lain yang sudah mati juga bisa didefinisikan sebagai sampah hutan. Sampah ini biasanya hanya dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan untuk bahan bangunan dan kayu bakar. Untuk kayu bakar sendiri, kayu dan sampah hutan lain dimanfaatkan secara langsung dengan pembakaran langsung (direct combustion) untuk menghasilkan energi yang biasanya berupa panas. Panas yang dihasilkan dari proses pembakaran hanya bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari seperti memasak atau kebutuhan minor lainnya. Energi panas yang dihasilkan dari pembakaran memang sangat terbatas penggunaannya. Selain itu efisiensi dari proses pembakaran langsung biasanya sangat kecil, hanya berkisar Antara 15-20% dari total panas yang dihasilkan. Maka dari itu, dibutuhkan proses lebih lanjut untuk meningkatkan efisiensi proses serta meningkatkan daya guna energi yang dihasilkan. Salah satu proses untuk meningkatkan efisiensi dan meningkatkan daya guna energi yang dihasilkan adalah gasifikasi.

Proses gasifikasi telah dikenal sejak abad lalu untuk mengolah betubara, gambut, atau kayu menjadi bahan bakar gas yang mudah dimanfaatkan (Herri, 1985). Tujuan dari proses gasifikasi adalah untuk meningkatkan kualitas energi dari bahan dasar gasifikasi. Selain itu, hasil dari proses gasifikasi yaitu synthetic gas, campuran gas CO dan H2, bisa dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan seperti bahan bakar dan listrik. Untuk daerah terpencil sekalipun, pemenuhan bahan bakar kebanyakan masih bisa dipenuhi dengan hanya membakar kayu dari hutan. Sehingga, yang menjadi permasalahan sekarang adalah pemenuhan kebutuhan listrik di daerah terpencil.

 
Sumber : http://www.chamco.net/Gasification_files/image010.jpg
Gambar 1 Reaktor Gasifikasi

Proses gasifikasi diawali dengan memasukkan sampah biomassa ke dalam reaktor gasifikasi (gasifier). Saat biomassa mengalami tahap pengeringan dengan temperatur sekitar 100 – 250oC. Pada temperatur ini air yang terkandung dalam biomassa akan berubah menjadi uap. Uap ini akan keluar ke aliran gas keluar bersama gas hasil gasifikasi. Tahap selanjutnya dalam reaktor adalah pirolisis. Proses ini terjadi pada temperatur 250 – 500oC. Pada temperatur ini biomassa mulai mengalami pemecahan molekul besar menjadi molekul-molekul lebih kecil akibat pengaruh temperatur tinggi. Hasil dari tahap pirolisis adalah arang, uap air, uap tar, dan gas-gas lain. Tahap selanjutnya adalah tahap reduksi yang berlangsung pada temperatur 600oC. Arang berekasi dengan uap air dan karbon dioksida menghasilakn hidrogen dan karbon monoksida. Dua gas hasil reduksi inilah yang menjadi komponen utama gas hasil. Tahap yang terakhir dalam reaktor adalah oksidasi. Proses ini berlangsung pada temperatur yang tinggi, yaitu sekitar 1200oC. Temperatur yang tinggi ini disebabkan oleh pembakaran sisa biomassa yang menhasilkan kalor. Pada suhu tinggi ini, uap tar juga mengalami proses lebih lanjut menjadi molekul-molekul kecil yang akhirnya terbakar (Herri, 1985).

Keluaran dari reaktor gasifier ini adalah gas H2, CO, H2O, CO2, partikel kecil (ash), dan sedikit gas SO2. Sebelum dapat digunakan, gas ini harus dibersihkan terlebih dahulu melalu gas cleaning system untuk mendapatkan konsentrasi H2 dan CO yang tinggi. Proses yang ada di unit pembersih gas ini adalah pemisahan partikel kecil dari gas, desulfurisasi, dry gas cleaning, dan pemersihan dari gas minor lain. Setelah dibersihkan, gas H2 dan CO dialirkan ke dalam SOFC (solid oxide fuel cell). Di dalam sel elektrokimia ini, terjadi reaksi Antara H2 dan CO dengan O2 yang berasal dari udara. Hasil dari reaksi ini adalah CO2, H2O, dan arus listrik. Arus listrik inilah yang dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari.

 
Sumber : http://esptk.fti.itb.ac.id/herri/
Gambar 2 Unit Gasifikasi

Namun, harga dari SOFC sendiri tergolong cukup mahal. Untuk menghasilkan 1 KWh listrik, dibutuhkan biaya sekitar USD 800 (Treacy, 2013) atau sekitar 11 juta rupiah hanya untuk sel elektrokimia saja. Harga ini cukup mahal jika ingin diaplikasikan di daerah terpencil yang umumnya masyarakatnya kurang mampu. Maka dari itu, kita harus mencari pengganti lain yang dapat digunakan untuk mengkonversi gas H2 dan CO menjadi listrik. Salah satunya dalah motor diesel. Gas hasil gasifikasi yang sudah dimurnikan dapat langsung diumpankan ke dalam motor diesel dan putaran mesinnya dapat langsung dihubungkan dengan generator dan menghasilkan arus listrik. Akan tetapi, efisiensi pembakaran menggunakan motor diesel masih lebih besar dari pembakaran langsung biomassa. Walaupun efisiensi dari motor diesel lebih kecil daripada efisiensi SOFC, namun harga motor diesel jauh lebih terjangkau daripada SOFC.

Teknologi gasifikasi sebenarnya sudah ada di Indonesia sejak tahun 1980-an. Untuk menghasilkan listrik, kendala utama dari penggunaan sumber energi biomassa adalah transmisi listrik dari reaktor sampai ke konsumen. Kendala inilah yang seharusnya juga menjadi perhatian dari pemerintah. Salahs satunya adalah pembangunan instalasi listrik di daerah terpencil untuk mentransmisikan listrik dari reaktor gasifikasi ke rumah warga. Namun, jangan terlalu berlebihan dalam memanfaatkan sumber daya alam. Bukan hanya sumber daya energi tak terbarukan, tapi juga sumber daya energi terbarukan. Walaupun energi terbarukan dapat diperbaharui, namun energi ini juga membutuhkan waktu untuk memperbaharui dirinya. Jika kita mengambil terlalu cepat dalam jumlah yang banyak, sumber daya terbarukan pun lama-kelamaan akan habis pula.

Pemanfaatan sampah hutan menjadi energi listrik melalui proses gasifikasi ini merupakan salah satu solusi dari penyediaan listrik di daerah pedalamn terutama pemukiman yang berada di dekat hutan. Dengan tersedianya pasokan listrik di daerah yang jarang perhatian pemerintah tersebut, diharapkan dapat mempercepat pembangunan di sana. Hal ini karena listrik telah menjadi kebutuhan dasar bagi manusia di zaman modern ini. Selain itu, pemanfaatan sampah hutan dan biomassa lain juga akan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Sehingga secara langsung kita ikut mengurangi pemanasan global yang akhir-akhir ini semakin menajadi perhatian seluruh masyarakat dunia.

“Hutan bukan hanya sekedar paru-paru dunia, namun juga menjadi penggerak kehidupan manusia.”





Gheady Wheland Faiz Muhammad
13013065
Mahasiswa Teknik Kimia ITB