Energi telah menjadi kebutuhan primer
manusia terutama di zaman modern ini. Mulai dari aktivitas sehari-hari seperti
mandi, bepergian, menyalakan barang elektronik, hingga memasak semuanya
membutuhkan energi. Bentuk energi yang digunakan manusia dari massa ke-massa
selalu berubah. Dahulu orang langsung menggunakan kayu bakar atau bahan lain
yang mudah didapat dan bisa langsung dibakar. Kemudian ditemukan bahan bakar
lain seperti batubara, minyak bumi, dan gas bumi. Ketiga sumber energi tidak
terbarukan ini sekarang menjadi sumber pasokan energi utama di dunia. Namun, karena
tidak dapat diperbaharui jumlah cadangannya semakin berkurang di alam. Di
Indonesia sendiri, selama tahun 2009 – 2013 produksi minyak mentah dan
kondensat menunjukkan kecenderungan menurun dengan tingkat penurunan rata-rata
sebesar 3,43 persen per tahun. Begitu juga dengan produksi gas bumi yang
mengalami penurunan dari tahun 2010 – 2013 (BPS, 2014).
Dewasa ini, manusia sudah mulai menyadari
bahwa ketergantungan terhadap sumber energi tak terbarukan akan membawa dunia
menuju krisis energi. Pemerintah Indonesia sendiri telah menyadari hal ini dan
menindaklanjutinya dengan menerbitkan Perpres No. 5 tahun 2006 tentang
kebijakan energi nasional dimana energi (primer) mix pada tahun 2025 akan
meningkatkan porsi sumber energi terbarukan seperti bahan bakar nabati
(biofuel) yang sekarang hanya sekitar 1% menjadi 5% dari total energi mix di
2025 nanti.
Bentuk energi yang bisa langsung digunakan
(final energy) selain bahan bakar
minyak (BBM) dan gas adalah listrik. Sumber pembangkit listrik bisa
bermacam-macam mulai dari BBM, gas alam, angin, air, dan masih banyak lagi.
Namun, pembangkit listrik yang ada di Indonesia sendiri sebagian besar masih
berbasis bahan bakar fosil (minyak, gas, dan batubara) yang tidak terbarukan. Padahal
masih banyak sumber energi terbarukan yang belum dimanfaatkan secara maksimal.
Misalnya panas bumi, air, mikrohidro, surya, angin, uranium, dan biomassa.
Kapasitas total pembangkit listrik
nasional adalah sebesar 44,8 GW dan sekitar 73% diantaranya berada di wilayah
Jawa Bali, 18% di wilayah Sumatera, sisanya di wilayah Kalimantan dan Pulau
Lain (BPPT, 2014). Terlihat bahwa pembangunan di luar pulau Jawa-Bali terutama
di bidang penyediaan listrik. Masih banyak wilayah di daerah terpencil di luar
pulu Jawa-Bali yang belum terpenuhi kebutuhan listriknya. Padahal sumber tenaga
listrik tersedia banyak di daerah terpencil tersebut, terutama dari sumber
terbarukan.
Meskipun sumber energi terbarukan sangat
melimpah di alam, namun pemanfaatannya masih sangat terbatas. Salah satu faktor
yang menyebabkan terhambatnya pengembangan sumber energi terbarukan adalah capital cost yang cukup besar. Sehingga,
para investor sekarang ini masih lebih tertarik untuk menginvestasikan uangnya
untuk membangun pembangkin listrik tenaga bahan bakar fosil terutama di
beberapa bulan terakhir ini dimana harga minyak dunia sedang turun di level USD
40-50 per barrel (oil-price.net, 2015). Namun, dengan pengembangan teknologi
yang baik seharusnya harga listrik dari sumber energi terbarukan seperti
biomassa per-kWh bisa lebih murah dibanding sumber yang lain. Sebagai contoh di
India, harga listrik per-kWh untuk biomassa hanya USD 0,07, lebih murah
dibandingkan dari diesel USD 0,27 dan hanya sedikit di atas batubara USD 0,05
(Raman dan Nambirajan, 2010). Jelas bahwa sumber dari biomassa cukup kompetitif
dibandingkan listrik dari sumber yang lain.
Pemilihan biomassa yang digunakan juga
harus memperhatikan faktor lain seperti kegunaan biomassa di bidang ketahanan
pangan. Seperti yang kita ketahui saat ini, banyak sumber energi terbarukan
yang berasal dari tanaman pangan seperti jagung, singkong, sawit, dan lain
lain. Pemanfaatan bahan pangan tersebut sebagai sumber energi tidak boleh
mengganggu stabilitas kebutuhan bahan pangan. Sehingga perlu dicari bahan lain
yang jika dikonversi secara besar-besaran menjadi energi tidak akan mengganggun
stabilitas pangan. Salah satu potensi yang belum begitu termanfaatkan sampai
saat ini adalah sumber biomasa yang berasal dari sampah hutan.
Sampah hutan disini diartikan sebagai
sisa-sisa tumbuhan yang sudah mati dan tidak termanfaatkan seperti daun kering,
batang kering, dan sisa organisme lain. Selain itu, sisa-sisa perkebunan seperti
pohon karet, sisa pohon sagu, dan pohon lain yang sudah mati juga bisa
didefinisikan sebagai sampah hutan. Sampah ini biasanya hanya dimanfaatkan oleh
masyarakat sekitar hutan untuk bahan bangunan dan kayu bakar. Untuk kayu bakar
sendiri, kayu dan sampah hutan lain dimanfaatkan secara langsung dengan pembakaran
langsung (direct combustion) untuk
menghasilkan energi yang biasanya berupa panas. Panas yang dihasilkan dari
proses pembakaran hanya bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari seperti memasak
atau kebutuhan minor lainnya. Energi panas yang dihasilkan dari pembakaran memang
sangat terbatas penggunaannya. Selain itu efisiensi dari proses pembakaran langsung
biasanya sangat kecil, hanya berkisar Antara 15-20% dari total panas yang
dihasilkan. Maka dari itu, dibutuhkan proses lebih lanjut untuk meningkatkan
efisiensi proses serta meningkatkan daya guna energi yang dihasilkan. Salah
satu proses untuk meningkatkan efisiensi dan meningkatkan daya guna energi yang
dihasilkan adalah gasifikasi.
Proses gasifikasi telah dikenal sejak abad
lalu untuk mengolah betubara, gambut, atau kayu menjadi bahan bakar gas yang
mudah dimanfaatkan (Herri, 1985). Tujuan dari proses gasifikasi adalah untuk
meningkatkan kualitas energi dari bahan dasar gasifikasi. Selain itu, hasil
dari proses gasifikasi yaitu synthetic
gas, campuran gas CO dan H2, bisa dimanfaatkan untuk berbagai
kebutuhan seperti bahan bakar dan listrik. Untuk daerah terpencil sekalipun,
pemenuhan bahan bakar kebanyakan masih bisa dipenuhi dengan hanya membakar kayu
dari hutan. Sehingga, yang menjadi permasalahan sekarang adalah pemenuhan
kebutuhan listrik di daerah terpencil.
Sumber
: http://www.chamco.net/Gasification_files/image010.jpg
Gambar 1 Reaktor Gasifikasi
Proses gasifikasi diawali dengan memasukkan
sampah biomassa ke dalam reaktor gasifikasi (gasifier). Saat biomassa mengalami tahap pengeringan dengan temperatur
sekitar 100 – 250oC. Pada temperatur ini air yang terkandung dalam
biomassa akan berubah menjadi uap. Uap ini akan keluar ke aliran gas keluar
bersama gas hasil gasifikasi. Tahap selanjutnya dalam reaktor adalah pirolisis.
Proses ini terjadi pada temperatur 250 – 500oC. Pada temperatur ini
biomassa mulai mengalami pemecahan molekul besar menjadi molekul-molekul lebih
kecil akibat pengaruh temperatur tinggi. Hasil dari tahap pirolisis adalah
arang, uap air, uap tar, dan gas-gas lain. Tahap selanjutnya adalah tahap
reduksi yang berlangsung pada temperatur 600oC. Arang berekasi
dengan uap air dan karbon dioksida menghasilakn hidrogen dan karbon monoksida.
Dua gas hasil reduksi inilah yang menjadi komponen utama gas hasil. Tahap yang
terakhir dalam reaktor adalah oksidasi. Proses ini berlangsung pada temperatur
yang tinggi, yaitu sekitar 1200oC. Temperatur yang tinggi ini
disebabkan oleh pembakaran sisa biomassa yang menhasilkan kalor. Pada suhu
tinggi ini, uap tar juga mengalami proses lebih lanjut menjadi molekul-molekul
kecil yang akhirnya terbakar (Herri, 1985).
Keluaran dari reaktor gasifier ini adalah gas
H2, CO, H2O, CO2, partikel kecil (ash), dan
sedikit gas SO2. Sebelum dapat digunakan, gas ini harus dibersihkan
terlebih dahulu melalu gas cleaning
system untuk mendapatkan konsentrasi H2 dan CO yang tinggi.
Proses yang ada di unit pembersih gas ini adalah pemisahan partikel kecil dari
gas, desulfurisasi, dry gas cleaning, dan pemersihan dari gas minor lain.
Setelah dibersihkan, gas H2 dan CO dialirkan ke dalam SOFC (solid oxide fuel cell). Di dalam sel
elektrokimia ini, terjadi reaksi Antara H2 dan CO dengan O2
yang berasal dari udara. Hasil dari reaksi ini adalah CO2, H2O,
dan arus listrik. Arus listrik inilah yang dapat digunakan untuk keperluan
sehari-hari.
Sumber : http://esptk.fti.itb.ac.id/herri/
Gambar 2 Unit Gasifikasi
Namun, harga dari SOFC sendiri tergolong
cukup mahal. Untuk menghasilkan 1 KWh listrik, dibutuhkan biaya sekitar USD 800
(Treacy, 2013) atau sekitar 11 juta rupiah hanya untuk sel elektrokimia saja.
Harga ini cukup mahal jika ingin diaplikasikan di daerah terpencil yang umumnya
masyarakatnya kurang mampu. Maka dari itu, kita harus mencari pengganti lain
yang dapat digunakan untuk mengkonversi gas H2 dan CO menjadi
listrik. Salah satunya dalah motor diesel. Gas hasil gasifikasi yang sudah
dimurnikan dapat langsung diumpankan ke dalam motor diesel dan putaran mesinnya
dapat langsung dihubungkan dengan generator dan menghasilkan arus listrik. Akan
tetapi, efisiensi pembakaran menggunakan motor diesel masih lebih besar dari pembakaran
langsung biomassa. Walaupun efisiensi dari motor diesel lebih kecil daripada
efisiensi SOFC, namun harga motor diesel jauh lebih terjangkau daripada SOFC.
Teknologi gasifikasi sebenarnya sudah ada
di Indonesia sejak tahun 1980-an. Untuk menghasilkan listrik, kendala utama
dari penggunaan sumber energi biomassa adalah transmisi listrik dari reaktor
sampai ke konsumen. Kendala inilah yang seharusnya juga menjadi perhatian dari
pemerintah. Salahs satunya adalah pembangunan instalasi listrik di daerah
terpencil untuk mentransmisikan listrik dari reaktor gasifikasi ke rumah warga.
Namun, jangan terlalu berlebihan dalam memanfaatkan sumber daya alam. Bukan
hanya sumber daya energi tak terbarukan, tapi juga sumber daya energi terbarukan.
Walaupun energi terbarukan dapat diperbaharui, namun energi ini juga
membutuhkan waktu untuk memperbaharui dirinya. Jika kita mengambil terlalu
cepat dalam jumlah yang banyak, sumber daya terbarukan pun lama-kelamaan akan
habis pula.
Pemanfaatan sampah hutan menjadi energi
listrik melalui proses gasifikasi ini merupakan salah satu solusi dari
penyediaan listrik di daerah pedalamn terutama pemukiman yang berada di dekat
hutan. Dengan tersedianya pasokan listrik di daerah yang jarang perhatian
pemerintah tersebut, diharapkan dapat mempercepat pembangunan di sana. Hal ini
karena listrik telah menjadi kebutuhan dasar bagi manusia di zaman modern ini.
Selain itu, pemanfaatan sampah hutan dan biomassa lain juga akan mengurangi
penggunaan bahan bakar fosil. Sehingga secara langsung kita ikut mengurangi
pemanasan global yang akhir-akhir ini semakin menajadi perhatian seluruh
masyarakat dunia.
“Hutan bukan hanya sekedar paru-paru
dunia, namun juga menjadi penggerak kehidupan manusia.”
Gheady Wheland
Faiz Muhammad
13013065
Mahasiswa
Teknik Kimia ITB